Thursday, September 8, 2016

Makalah Perkawinan dan tata cara perkawinan di daerah Tabanan Bali

Makalah Perkawinan dan tata cara perkawinan di daerah Tabanan Bali


BAB I

PENDAHULUAN


1.1.Pendahuluan

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.

Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.

Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.


1.2.Rumusan Masalah

-          apa  pengertian serta tujuan perkawinan ?

-          Bagaimana  proses perkawinan menurut Hindu?

-          Apa saja jenis-jenis pernikahan menurut hindu?









BAB II

PEMBAHASAN


1.1.Pengertian dan Tujuan Perkawinan

Dalam masyarakat Bali, perkawinan dikenal dengan istilah pawiwahan  Istilah ini umumnya sudah menjadi istilah teknis yang dipergunakan dalam peraturan-peraturan adat yang disebut dengan awig-awig, terutama awig-awig desa pakraman (dulu disebut: desa adat)Di samping itu, di dalam masyarakat ditemukan pula istilah-istilah yang mempunyai makna sama dengan perkawinan, seperti alakirabi, pewarangan, dan seterusnya. Perkataan "kawin" sendiri dalam bahasa sehari-hari lebih umum disebut nganten, mesomahan, atau mekurenan sebagai istilah-istilah yang umum digunakan dikalangan  jaba, sementara dikalangan triwangsa istilah yang lazim dipergunakan adalah merabian, mekerab atau mekerab kambe (Astiti,1981)

Dalam masyarakat adat di Bali, perkawinan tidak hanya dipandang sebagai suatu perbuatan hukum yang bersifat duniawi (sekala) belaka, melainkan juga berkaitan dengan kehidupan dunia gaib (niskala) sehingga sangat disakralkan (suci). Konsep perkawinan sebagai perbuatan hukum yang bersifat sekala-niskala umumnya dirumuskan dengan jelas dalam awig-awig desa pakraman, khususnya dalam pasal (pawos) yang secara khusus membahas prihal perkawinan (indik pawiwahan). Contohnya adalah Pawos 77 Awig-awig Desa Pakraman Tumbak Bayuh, Badung (1992) yang menyatakan  sebagai betrikut:

”Pawiwahan inggih punika patemining purusa pradana, malarapan patunggalan kayun suka-cita, kadulurin upasaksi sekala -niskala”

Konsep sekala-niskala merupakan konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali yang relegius, yang senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara dunia nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Itulah sebabnya, pelaksanaan perkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi calon mempelai, keluarga dan masyarakat (banjar), melainkan juga berurusan dengan betara-betari (roh leluhur) yang bersemayam di sanggah atau merajan, bhuta kala, dan Hyang Widhi, sebagaimana dapat dimaknai dari konseptri upasaksi (manusa saksi, dewa saksi dan bhuta saksi) dalam pengesahan perkawinan. Pengertian demikian sangat sejalan dengan prinsip yang dianut oleh Undang-undang Perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa : "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Dasar relegius dalam suatu perkawinan diharapkan dapat mengokohkan lembaga perkawinan itu sendiri sehingga tujuan perkawinan dapat dicapai. Tujuan perkawinan seperti ditegaskan dalam Pasal 1 di atas adalah terbentuknya keluarga yang kekal dan bahagia. Istilah "kekal" dapat dimaknai bahwa perkawinan diharapkan hanya terjadi sekali dalam hidup ini sehingga diharapkan perkawinan tidak putus di tengah jalan karena perceraian. Keluarga "bahagia" diakui merupakan rumusan yang masih abstrak dan relatif, sebab ukuran yang dipakai oleh masing-masing orang bisa berbeda. Tetapi karena masyarakat Bali adalah masyarakat yang relegius, tentu ukuran standar yang bisa digunakan adalah keluarga ideal menurut ajaran agama dan kepercayaan yang dianut. Menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, adanya keturunan yang lahir dari perkawinan sangatlah penting sehingga dapat dikatakan menjadi salah satu tujuan penting dari perkawinan.

Dalam masyarakat Bali, keturunan terutama anak laki-laki, sangat didambakan oleh setiap pasangan suami istri sebab dari anak laki-lakilah digantungkan harapan-harapan, seperti menjadi penerus generasi; mengganti kedudukan bapaknya dalam masyarakat kalau sudah kawin (menjadi kerama banjar atau kerama desa); memelihara dan memberi nafkah jika orang tuanya sudah tidak mampu; melaksanakan upacara agama (seperti: ngaben, dan lain-lain); serta selalu astiti-bhakti (menyembah) kepada leluhur yang bersemayam disanggah atau merajan (Tim Peneliti,FH Unud,1991). Dalam masyarakat Bali Hindu masih sangat kuat dianut suatu kepercayaan bahwa keberadaan keturunan (laki-laki) dalam keluarga sangatlah penting untuk membebaskan roh leluhur (pitara) dari kawah neraka dan mengantarkannya menuju alam sorga. Kepercayaan ini tampaknya diilhami dari kisah yang diceritrakan dalam Kitab Adiparwa. Dalam kitab tersebut diceritrakan mengenai nasib Sang Wiku Wara Bhrata yang hampir jatuh ke kawah neraka akibat beliau tidak mempunyai keturunan kerena putra beliau yaitu Sang Jaratkaru berketatapan hati untuk nyukla brahmacari (tidak kawin selama hidup). Mengetahui nasib roh leluhurnya yang demikian, akhimya Sang Jaratkaru memutuskan untuk kawin, sehingga roh leluhurnya dapat menuju alam sorga setelah ia mempunyai putra yang bernama Sang Astika (Ngurah Adhi, 1972). Dalam bahasa sehari-hari kepercayaan mengenai pentingnya peranan keturunan (cucu) laki-laki untuk membebaskan roh leluhur dari kawah neraka ini sering dikemukakan dengan ungkapan "i cucu nyupat i kaki".



1.2.Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali 

Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali adalah sebagai berikut:

·         Upacara Ngekeb

Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.

Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.

Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.


·         Mungkah Lawang ( Buka Pintu )

Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.


·         Upacara Mesegehagung

Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng


·         Madengen–dengen

Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian


·         Mewidhi Widana

Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan


·         Mejauman Ngabe Tipat Bantaldownload now