Showing posts with label budaya. Show all posts
Showing posts with label budaya. Show all posts

Thursday, September 29, 2016

Inilah Pengertian dan Contoh Akulturasi Budaya

Inilah Pengertian dan Contoh Akulturasi Budaya



Akulturasi budaya dan contohnyacarajuki.com
Istilah akulturasi berasal dari bahasa Latin “acculturate” yang berarti “tumbuh dan berkembang bersama”. Secara umum, pengertian akulturasi (acculturation) adalah perpaduan budaya yang kemudian menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut. Misalnya, proses percampuran dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga bisa saling memengaruhi.
Sedangkan, menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing yang berbeda. Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity) yaitu penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut, kemudian adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya.

Akulturasi bisa terjadi melalui kontak budaya yang bentuknya bermacam-macam, antara lain sebagai berikut.

  • Kontak sosial pada seluruh lapisan masyarakat, sebagian masyarakat, atau bahkan antar individu dalam dua masyarakat.

  • Kontak budaya dalam situasi bersahabat atau situasi bermusuhan.

  • Kontak budaya antara kelompok yang menguasai dan dikuasai dalam seluruh unsur budaya, baik dalam ekonomi, bahasa. teknologi. kemasyarakatan. agama, kesenian, maupun ilmu pengetahuan.

  • Kontak budaya antara masyarakat yang jumlah warganya banyak atau sedikit.

  • Kontak budaya baik antara sistem budaya, sistem sosial, maupun unsur budaya fisik.

Hasil akulturasi budaya ditentukan oleh kekuatan dari setiap budaya. Semakin kuat suatu budaya maka akan semakin cepat penyebarannya. Adanya berbagai suku bangsa yang terdapat di Indonesia, secara alami akan terjadi pertemuan dua budaya atau lebih. Dalam proses akulturasi, semua perbedaan yang ada akan berjalan beriringan dengan semua unsur persamaan yang mereka miliki sampai pada akhirnya budaya yang memiliki pengaruh lebih kuat akan berperan besar dalam proses akulturasi.

Dalam perkembangannya, ada tiga periode akulturasi yang terjadi di Indonesia ini.

  • Periode Awal (Abad 5-11 Masehi)

    Pada periode ini, unsur Hindu-Budha sangat kuat dan lebih terasa sangat menonjol sedangkan unsur/ciri-ciri kebudayaan Indonesia sendiri menjadi terdesak. Terbukti dengan banyak ditemukannya berbagai macam patung dewa, diantaranya adalah Brahma, Siwa, Wisnu dan Budha yang tersebar di kerajaan-kerajaan seperti Tarumanegara, Kutai dan Mataram Kuno.

  • Periode Pertengahan (Abad 11-16 Masehi)

    Pada periode pertengahan ini unsur Hindu-Budha dan Indonesia sudah mulai berimbang. Hal tersebut disebabkan karena unsur Hindu-Budha mulai melemah sedangkan unsur budaya Indonesia kembali menonjol sehingga kemudian menyebabkan munculnya sebuah sinkretisme(perpaduan antara dua atau lebih aliran budaya). Hal ini bisa kita lihat pada peninggalan zaman kerajaaan yang ada di Jawa Timur seperti Kediri, Singasari dan Majapahit. Di Jawa Timur sendiri telah lahir aliran Tantrayana, yaitu suatu aliran religi yang merupakan sebuah sinkretisme dari kepercayaan Indonesia asli dengan agama Hindu-Budha.

  • Periode Akhir (Abad 16-sekarang)

    Pada periode ini, unsur budaya Indonesia menjadi lebih kuat dibandingkan dengan periode sebelumnya, sedangkan unsur budaya Hindu-Budha menjadi semakin surut karena perkembangan politik dan ekonomi di India yang tidak stabil.

Untuk lebih memahami wujud budaya yang sudah mengalami proses akulturasi (Islam dan Hindu-Budha di Indonesia) dapat kita simak dalam uraian berikut ini:

Seni bangunan

Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana. Untuk lebih jelasnya silahkan anda simak gambar 1 berikut ini.

Masjid Menara Kudus
(sumber gambar: nurulazam.com)

Masjid Menara Kudus atau disebut juga dengan masjid Al-Aqsa dan Al-Manar, merupakan sebuah bukti akulturasi budaya yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi.

Seni rupa

Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian.

upa perpaduan dua budaya
(sumber gambar: flickr.com)

Aksara dan seni sastra

Tersebarnya agama Islam di Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a, i, u seperti halnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran dan gambar wayang.

Bentuk seni sastra:

  1. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).

  2. Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton dan sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.

  3. Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan lain sebagainya.

  4. Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk.

Bentuk seni sastra di atas, banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa.

Sistem Pemerintahan

Dalam pemerintahan, sebelum masuknya Islam ke Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu-Budha. Tapi setelah Islam masuk, banyak kerajaan yang bercorak Hindu-Budha mengalami keruntuhan dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Malaka, Demak dan lain sebagainya. Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan seperti halnya para wali dan apabila rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan dicandi/dicandikan tetapi dimakamkan secara Islam.

Sistem Kalender

Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal kalender, yaitu kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dimana dalam kalender Saka terdapat nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah berkembangnya Islam di Indonesia, sultan agung dari Mataram membuat kalender Jawa, menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam). Pada kalender Jawa, sultan agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Tapi masih tetap menyertakan hari pasaran pada kalender saka. Kalender sultan agung ini dimulai pada tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.


download now

Read More

Tuesday, September 6, 2016

Makalah Budaya Perkawinan Sentana Dari daerah Tabanan

Makalah Budaya Perkawinan Sentana Dari daerah Tabanan


KEBUDAYAAN NYENTANA, MERUPAKAN CIRI KHAS ATAU

KEBUDAYAAN DARI DAERAH TABANAN

I Gede Mareza Sarashadi Taruna Sanjaya

Program Studi Pendidikan Hukum Agama Hindu, Program S1

Universitas Hindu Indonesia (UNHI)

Denpasar, Indonesia

e-mail: eldifore@gmail.com


Abstrak

Pemikiran ini bertujuan untuk memberi informasi kepada pembaca agar pembaca mengetahuiadat atau kebudayaan nyentana di Kabupaten Tabanan. Nyentana" adalah istilah yang asing di telinga mereka. Sekedar buat nambah pengetahuan, nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada sepasang suami istri dimana si suami dipinang (diminta) oleh keluarga si istri. Lazimnya dalam adat di Bali, keluarga si suami lah yang harus meminang si istri, karena di Bali masih menganut sistem patrilinier atau kebapakan. Lalu mengapa bisa justru keluarga mempelai wanita yang meminang si pria, hal ini dikarenakan keluarga dari pihak perempuan tidak memiliki keturunan laki-laki, jadi mereka harus meminang suami. Begitulah kira-kira secara ringkas mengenai nyentanadisini yang menjadi permasalahan tidak semua keluarga atau orang tua yang mau anak lelakinya keluar (dipinang oleh keluarga perempuan). Banyak keluarga dari pria tidak menginginkan anaknya untuk melakukan nyentana karena di Bali anak laki-laki sebagai purusa.   



Kata-kata kunci : status dan kedudukan perempuan dalam keluarga Nyentana, konsep pernikahan Nyentana dipandang dari adat atau agama, dan pergeseran konsep nyentana dengan adanya pade ngelahang/ngen, hukuman untu perkawinan pada gelahan (nyentana) dan syarat-syarat untuk melakukan perkawinan nyentana.



                                                               Abstrack


Thought is intended to provide information to the reader so that the reader knows nyentana custom or culture in Tabanan . Nyentana " is a term foreign to their ears . Created Just to add knowledge , nyentana is a term given to a married couple where the husband is spoken for ( requested ) by the family of the wife . Normally in customs in Bali , the husbands family who must woo wife , because in Bali still adopts patrilinier or fatherhood . then why can it woo the brides family that the man, this is because the family of the woman has no male offspring , so they have to woo her husband . thats about it concise about nyentana , which is the case here , not all families or parents who want their son out ( the groom by the family of women ) . many families of men do not want their children to Key words : the status and position of women in the family Nyentana , the concept of marriage. To do in Bali nyentana for boys as purusa.Nyentana seen from custom or religion , and shifts pade concept nyentana with ngelahang / ngen , the marriage penalty untu gelahan ( nyentana ) and the requirements for mating nyentana



                                                                               

Pendahuluan

Istilah ini hanya ada di Bali, jadi untuk beberapa kalangan istilah "Nyentana" adalah istilah yang asing di telinga mereka.

Sekedar buat nambah pengetahuan, nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada sepasang suami istri dimana si suami dipinang (diminta) oleh keluarga si istri. Lazimnya dalam adat di Bali, keluarga si suami lah yang harus meminang si istri, karena di Bali masih menganut sistem patrilinier atau kebapakan.

Lalu mengapa bisa justru keluarga mempelai wanita yang meminang si pria, hal ini dikarenakan keluarga dari pihak perempuan tidak memiliki keturunan laki-laki, jadi mereka harus meminang suami. Begitulah kira-kira secara ringkas mengenai nyentana.

Nah, disini yang menjadi permasalahan tidak semua keluarga atau orang tua yang mau anak lelakinya keluar (dipinang oleh keluarga perempuan).


Ada beragam alasan yang mereka utarakan, antara lain:

·                     Khawatir dikutuk oleh leluhur mereka

·                     Tidak ada adat di lingkungan mereka yang menganut atau mengambil jalan nyentana

·                     Gengsi sebagai seorang lelaki dipinang ke keluarga perempuan

·                     Malu sama masyarakat sekitar jika seorang lelaki dipinang seolah-olah tidak ada perempuan lain yang diajak nikah

Begitulah alasan-alasan yang sering terucap jika mereka tahu anak lelaki mereka bakal memilih nyentana. Lalu bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki anak lelaki, seluruh anak mereka perempuan, apa mereka tega meninggalkan orang tua mereka untuk ikut keluarga suami mereka. Lalu siapa yang bakal meneruskan keturunan mereka, jika mereka ditinggal oleh semua anak mereka. Hal ini lah yang menjadi polemik di kalangan adat masyarakat Bali.

Ada yang menyebutkan pria yang mau nyentana adalah banci, pengecut, dan sebagainya. Ada pula yang menyebut mereka pahlawan, karena mereka mau membuang status "purusa" (status bagi lelaki jika sudah menikah) dan mengenakan status "pradana" (status bagi perempuan yang sudah menikah).

        




Pembahasan



1.1.Status Dan Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga Nyentana

Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dari hasil survey yang dilakukan pada karma – karma desa dan kelian adat didesa tersebut (Ratu aji) mempaparkan dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.

Pada perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Putrika artinya proses perbahan status dan kedudukan perempuan menjadi laki-laki melalui prosesi upacara adat yang harus disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui oleh kelurga serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika kelurga putrika tidak menyetujui terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan peralihan kekayaan baik yang berupa benda materiil mapun yang berupa non materiil seperti sanggah dan leluhur.

Perempuan yang telah diputrika memiliki status dan kedudukan sebagai laki-laki sesuai dengan legitimasi adat yang telah diberikan kepadanya. Sehingga semenjak prosesi putrika tersebut ia memiliki hak dan tangung jawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Sebagai kepala keluarga putrika juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya. Ia juga menjadi penentu setiap keputusan yang akan diambil oleh keluarga, berkaitan dengan permasalahan yang ada di keluarganya. Sedangkan laki-kaki yang nyentana mempunyai tangungjawab dan kewajiban sebagaimana layaknya perempuan dalam rumah tangga. Ia membantu istri untuk menjalankan roda perekonomian keluarga serta mengurus anak-anak. Dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga ia mesti meminta persetujuan dari istrinya terlebih dahulu. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya perubahan kewajiban dan tangungjawab yang sepenuhnya sudah ada pada pihak perempuan yang berstatus putrika. Sebagai ahli waris perempuan putrika mempunyai kewenangan “mutlak” berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Kewenangan ini dimiliki berkaitan dengan statusnya sebagai akhli waris dan penerus keturunan keluarga. Sehingga ia diberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga. Keluasan kewenangan inilah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan, khususnya dengan suami yang merasa tidak diberikan ruang dan kebebasan untuk ikut menentukan arah kebijakan keluarga.

Pada Desa adat Jegu perempuan yang telah melakukan perubahan status melalui putrika diberikan tangungjawab dan kedudukan yang sama sebagaimana layaknya laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah milik. Artinya ia diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya.




1.2.Konsep Penikahaan Nyentana dipandang dari adat atau agama

Nyentana merupakan hukum adat bukan kaidah agama hindu. Mungkin ada   sedikit kaitannya dengan tradisi beragama hindu di bali yang dikenal dengan istilah pradana dan purusa. Seseorang yang nyentana hendakanya mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga dadia (soroh) dari lelaki dan perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak dan kewajibanya di sanggah lama(purusha) dan menjadi warga baru disanggah baru (pradana). Lelaki yang nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitan yang lama dan yang baru.

Dalam sejarah banyak sekali leluhur orang bali yang sejak zaman dahulu mengambil langkah nyentana, jadi tidak ada  yang salah dalam hal nyentana yang penting adalaha bagaiamana membina kehidupan yang harmonis, sesu

download now

Read More