Thursday, September 8, 2016

Makalah Analisis Kasus Terorisme Lengkap Tinggal Print dan atur Kertas

Makalah Analisis Kasus Terorisme Lengkap Tinggal Print dan atur Kertas


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak mencuatnya kasus 11 September di Amerika Serikat, Negara-negara di dunia mulai meningkatkan keamanan dan berbagai langkah antisipasi terhadap gerakan terorisme, baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri itu sendiri.

Pasca tragedi bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang tercatat, sedikitnya, 202 orang tewas dan 209 orang terluka,[1] Indonesia mulai mengintensifkan penanganan terorisme. Hal ini diapresiasikan dengan di bentuknnya pasukan Densus 88 Anti terror oleh Mabes POLRI atau pasukan khusus lainnya yang tugas utamanya mengantisipasi dan menggagalkan aksi terorisme di Indonesia.

Akhir-akhir ini, modus aksi terorisme mulai beragam, mulai dari bom bunuh diri, bom buku bahkan dengan modus penculikan yang disertai dengan pencucian otak korbannya (brain whasing). Ancaman tersebut bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, serta mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Saat ini tidak ada tempat yang aman dan dapat dikatakan bebas dari ancaman terorisme.

Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik setiap aksi terorisme tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.

Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), akhirnya pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 Tentang pemberantasanTindak Terorisme

1.2 Rumusan Masalah

 Setelah mengkaji dan menganalisis beberapa polemik yang berkenaan dengan tindak terorisme di Indonesia yang disertai dengan semakin meningkatnya aksi teror akhir-akhir ini, timbullah beberapa pertanyaan yang muncul dari dalam hati kami seiring dengan semakin mencuatnya kasus terorisme tersebut, diantaranya :

1.      Apa yang menjadi motif yang melatarbelakangi keberadaan terorisme tersebut ?

2.      Bagaimanakah pandangan islam mengenai label jihad yang sering di dengung-dengungkan oleh para teroris untuk melegistimasi setiap aksi teror mereka ?

3.      Bagaimanakah paradigma mereka dalam menafsirkan tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad tersebut

4.      Sudah sejauh mana sepak terjang yang telah dilakukan kelompok teroris tersebut ?

5.      Sejauh manakah peranan undang-undang UU No.15 Tahun 2003 tentang terorisme dalam meminimalisis aksi teror di Indonesia, serta sudah tepatkah pembentukan pasukan khusus “Densus 88” dalam menanggulangi tindak terorisme dalam situasi seperti sekarang ini?

6.      Bagaimanakah islam memandang keberadaan UU Terorisme tersebut berdasarkan tinjauanMaqasidu Ash-Syariah?

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan

Adapun beberapa tujuan yang ingin kami capai dengan adanya tugas makalah ini adalah ingin memberikan beberapa pemahaman mengenai segala bentuk seluk beluk mengenai teroris yang ada di Indonesia, serta menyadarkan kepada kita semua bahwa yang namanya teroris itu, tidak semuanya akan menguntungkan.

Maka dengan semangat kebersamaan kita semua, mari wujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang aman dan tentram, terbebas dari yang namanya terorisme.



BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Pengertian

Terorisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).

Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan politik). Terror adalah perbuatan sewenang-wenang, kejem, bengis dan usaha menciptakan ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan.

Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil dari pada perang .

Terorisme mengandung arti ‘menakut-nakuti’. Kata tersebut berasal dari bahasa latinterrere, “menyebabkan ketakutan”, dan digunakan secara umum dalam pengertian politik sebagai serangan terhadap tatanan sipil selama rezim terror pada masa Revolusi Perancis vakhir abad XVII.[2]

Dengan bejalannya waktu, penggunaan istilah terorisme rupanya mengalami mengalami perluasan makna, karena masyarakat menganggap terorisme sebagai aksi-aksi perusakan publik, yang dilakukan tanpa suatu alasan militer yang jelas, serta penebaran rasa ketakutan secara luas di dalam tatanan kehidupan masyarakat.

2.2 Alasan Munculnya Terorisme   .

            Jika di pahami secara jernih kejahatan terorisme merupakan hasil dari akumulasi beberapa faktor, bukan hanya oleh faktor pisikologis tetapi juga  ekonomi, politik, agama, sosiologis dan masih banyak yang lain.

Terlalu simplistik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme hanya berdasarkan satu penyebab saja, misalnya psikologis. Konflik etnik, agama, dan ideologi, kemiskinan, tekanan modernisasi ketidakadilan politik, kurangnya saluran komunikasi dana, tradisi kejamanan, lahirnya kelompok – kelompok revolusioner, kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah.

Memang tidak bisa disalahkan jika terorisme dikaitkan dengan persoalan hak asasi manusia (HAM), karenA akibat terorisme banyak kepentingan umat manusia yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah dijadikan ongkos kebiadaban dan kedamaian hidup antar umat manusia jelas – jelas dipertaruhkan.  

   Namun demikian, akhir-akhir ini kita sering mendengar bahwa aksi-aksi yang melatar belakangi aksi terorisme di Indonesia sering kali dipertautkan dengan agama. Bukankah sudah menjadi kebenaran umum bahwa agama merupakan suatu wadah  dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian umat manusia.

Dalam sebagian besar kasus rupanya agama tidak hanya ditangarai menyediakanideology, tapi juga motivasi dan struktur organisasional para pelaku kejahatan tersebut. misalnya saja dalam penafsiran bebas tentang ayat-ayat al Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan jihadyang sering di jadikan dogma fundamental bagi para pelaku teror tersebut.

Secara epistimologi jihad berasal dari bahasa arab al-juhdu atau al-jahdu yang merupakan bentuk masdar dari kata jahada. Jadi, al-juhdu atau al-jahdu yakni pencurahan kemapuan dan kekuatan untuk menatang sesuatu yang lain. Maka dalam syariat, kata ini diartikan sebagai memerangi orang yangt disyariatkan untuk diperangi, dari kalngan kafir dan lainnya.[3]

Ada banyak dalil yang sering di salah artikan didalam memahami ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad, misalnya:

Ø  “Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.,” (At-Taubah:111)

Ø  “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan Ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (At-Taubah:123)

Ø  Sebuah hdits yang diriwayatkan dari Anas ra, sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Perangilah orang musyrik dengan harta, diri, dan lidahmu.”[4]

Ø  Pemikiran Ibnu Rusd, “setiap orang yang membebani dirinya karena Allah, maka dia telah berjihad di dalamnya. Hanya saja, bila jihad fi sabilillah dinyatakan, maka tidak ada maksud lain kecuali memerangi orang kafir dengan menggunakan pedang, hingga mereka mau masuk islam, atau memberikan jizyah secara patuh dan mereka tubduk,”[5] dll.

Dalil-dalil tersebut, mereka jadikan landasan serta pijakan hukum untuk membenarkan aksi terror mereka, tanpa harus mengetahui siapakah obyek/musuh sebenarnya yang harus diperangi, bagaimana tata cara pelaksanaan serta aturannya, nengingat Nabi saw juga menerapkan suatu aturan di dalam tata cara berperang bagi mujahidin muslim saat itu, misalnya dilarang membunuh anak-anak, wanita, orang tua, bahkan orang keristen yang sedang beribadah di dalam gerejanya serta larangan di dalam merusak tempat ibadah.

            Meskipun begitu, bukan berarti terorisme tidak termasuk kejahatan, khususnya jika dikaitkan dengan persoalan dampaknya secara makro walaupun dengan menggunakan kategori “Jihad.” Jika manusia yang tidak berdosa menjadi korban dan kepentingan publik menjadi rusak berantakan, serta Negara dilanda Disharmonisasi Nasional, maka kategori“Jihad” maupun alasan keagamaan apapun yang membenarkan kebiadaban tersebut  patut dipertanyakan.

Seorang anak muda yang menyatakan diri sebagai pelaku pemboman bunuh bdiri mengatakan bahwa “ketika saya meledakkan” dan “menjadi martir tuhan yang suci,” dia dijajikan sebuah tempat untuk dirinya dan keluarganya di surga, 72 bidadari, dan “pemberian ganti rugi” kepada keluarganya yang setara dengan 6000 dolar”.[6]

Doktrin di atas merupakan salah satu dari ribuan doktrin-doktrin yang ditanamkan kepada para pelaku terror, dimana mereka tidak mengetahui maksud dan tujuan yang sebenarnya dari nilai essensial jihad tersebut, sehingga mereka hanya memikirkan iming-iming balasan serta pahala atas tindakan aksi terror mereka.

Karena itu Rasulullah jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa para mujahidin yang diberi ganjaran ialah yang niatnya ikhlas lillahi Ta’ala, tidak bercampur dengan ingin dilihat dan dikenal orang.[7] Dan mereka tidak pernah memikirkan hadiah apa yang akan diberikan tuhan kepadanya, karena para mujahudin tersebut benar–benar berjuang dengan ikhlas untuk menegakkan kalimat Allah di dalam hatinya.

Dari Abu Musa Ra, katanya, “Rasulullah Saw ditanya tentang seorang yang berperang karena dorongan keberanian, karena fanatisme, dan berperang karena ingin dikenal. “Yang mana yang dikatakan berperang fi sabillillah, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab: “Siapa yang berperang supaya kalimat Alloh tegak dan tinggi, maka dia dinyatakan telah berperang fi sabilillah.” (dikeluarkan oleh kelima imam)[8]

Dari Abu Hurairah Ra. Katanya,”Ada seorang bertanya kepada Rasulullah Saw. Tanyanya,”Ya Rasulullah, ada seorangyang berperang jihad fi sabilillah tetapi tujuannya untuk mendapatkan kedudukan dunia.” Maka Rasulullah menjawab, ”Dian tidak akan mendapatkan pahala (diulangnya sabdanya itu sampai tiga kali) Laa ajru lahu!”(HR.Abu Daud)[9]

Hal ini mengantarkan pada suatu pertanyaan, jika terorisme membenarkan kekreasan dalam menggapai tujuannya, lalu bagaimnakah dengan jihad, apakah ia memiliki kesamaan dengan terorisme? Ini merupakan pertanyaan sederhana tetapi mengena karena jika jihad tersebut memang berasal dari ideology keagaman, pastilah akan berakibat positif bagi pemeluknya dan orang disekitarnya, karena agama pastilah mempunyai standarisasi atau norma tersendiri dalam mekanisme pelaksanaan jihad tersebut sesuai dengan tujuannya untuk menjadi rahmat li al-‘alamin. Jadi, jihad sama sekali berbeda dengan aksi terorisme yang selalu menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya.