Makalah Budaya Perkawinan Sentana Dari daerah Tabanan
KEBUDAYAAN NYENTANA, MERUPAKAN CIRI KHAS ATAU
KEBUDAYAAN DARI DAERAH TABANAN
I Gede Mareza Sarashadi Taruna Sanjaya
Program Studi Pendidikan Hukum Agama Hindu, Program S1
Universitas Hindu Indonesia (UNHI)
Denpasar, Indonesia
e-mail: eldifore@gmail.com
Abstrak
Pemikiran ini bertujuan untuk memberi informasi kepada pembaca agar pembaca mengetahuiadat atau kebudayaan nyentana di Kabupaten Tabanan. Nyentana" adalah istilah yang asing di telinga mereka. Sekedar buat nambah pengetahuan, nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada sepasang suami istri dimana si suami dipinang (diminta) oleh keluarga si istri. Lazimnya dalam adat di Bali, keluarga si suami lah yang harus meminang si istri, karena di Bali masih menganut sistem patrilinier atau kebapakan. Lalu mengapa bisa justru keluarga mempelai wanita yang meminang si pria, hal ini dikarenakan keluarga dari pihak perempuan tidak memiliki keturunan laki-laki, jadi mereka harus meminang suami. Begitulah kira-kira secara ringkas mengenai nyentana, disini yang menjadi permasalahan tidak semua keluarga atau orang tua yang mau anak lelakinya keluar (dipinang oleh keluarga perempuan). Banyak keluarga dari pria tidak menginginkan anaknya untuk melakukan nyentana karena di Bali anak laki-laki sebagai purusa.
Kata-kata kunci : status dan kedudukan perempuan dalam keluarga Nyentana, konsep pernikahan Nyentana dipandang dari adat atau agama, dan pergeseran konsep nyentana dengan adanya pade ngelahang/ngen, hukuman untu perkawinan pada gelahan (nyentana) dan syarat-syarat untuk melakukan perkawinan nyentana.
Abstrack
Thought is intended to provide information to the reader so that the reader knows nyentana custom or culture in Tabanan . Nyentana " is a term foreign to their ears . Created Just to add knowledge , nyentana is a term given to a married couple where the husband is spoken for ( requested ) by the family of the wife . Normally in customs in Bali , the husbands family who must woo wife , because in Bali still adopts patrilinier or fatherhood . then why can it woo the brides family that the man, this is because the family of the woman has no male offspring , so they have to woo her husband . thats about it concise about nyentana , which is the case here , not all families or parents who want their son out ( the groom by the family of women ) . many families of men do not want their children to Key words : the status and position of women in the family Nyentana , the concept of marriage. To do in Bali nyentana for boys as purusa.Nyentana seen from custom or religion , and shifts pade concept nyentana with ngelahang / ngen , the marriage penalty untu gelahan ( nyentana ) and the requirements for mating nyentana
Pendahuluan
Istilah ini hanya ada di Bali, jadi untuk beberapa kalangan istilah "Nyentana" adalah istilah yang asing di telinga mereka.
Sekedar buat nambah pengetahuan, nyentana adalah suatu istilah yang diberikan kepada sepasang suami istri dimana si suami dipinang (diminta) oleh keluarga si istri. Lazimnya dalam adat di Bali, keluarga si suami lah yang harus meminang si istri, karena di Bali masih menganut sistem patrilinier atau kebapakan.
Lalu mengapa bisa justru keluarga mempelai wanita yang meminang si pria, hal ini dikarenakan keluarga dari pihak perempuan tidak memiliki keturunan laki-laki, jadi mereka harus meminang suami. Begitulah kira-kira secara ringkas mengenai nyentana.
Nah, disini yang menjadi permasalahan tidak semua keluarga atau orang tua yang mau anak lelakinya keluar (dipinang oleh keluarga perempuan).
Ada beragam alasan yang mereka utarakan, antara lain:
· Khawatir dikutuk oleh leluhur mereka
· Tidak ada adat di lingkungan mereka yang menganut atau mengambil jalan nyentana
· Gengsi sebagai seorang lelaki dipinang ke keluarga perempuan
· Malu sama masyarakat sekitar jika seorang lelaki dipinang seolah-olah tidak ada perempuan lain yang diajak nikah
Begitulah alasan-alasan yang sering terucap jika mereka tahu anak lelaki mereka bakal memilih nyentana. Lalu bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki anak lelaki, seluruh anak mereka perempuan, apa mereka tega meninggalkan orang tua mereka untuk ikut keluarga suami mereka. Lalu siapa yang bakal meneruskan keturunan mereka, jika mereka ditinggal oleh semua anak mereka. Hal ini lah yang menjadi polemik di kalangan adat masyarakat Bali.
Ada yang menyebutkan pria yang mau nyentana adalah banci, pengecut, dan sebagainya. Ada pula yang menyebut mereka pahlawan, karena mereka mau membuang status "purusa" (status bagi lelaki jika sudah menikah) dan mengenakan status "pradana" (status bagi perempuan yang sudah menikah).
Pembahasan
1.1.Status Dan Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga Nyentana
Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dari hasil survey yang dilakukan pada karma – karma desa dan kelian adat didesa tersebut (Ratu aji) mempaparkan dalam proses perkawinan nyentana yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai laki-laki menjadi hak dan tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.
Pada perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Putrika artinya proses perbahan status dan kedudukan perempuan menjadi laki-laki melalui prosesi upacara adat yang harus disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui oleh kelurga serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika kelurga putrika tidak menyetujui terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan peralihan kekayaan baik yang berupa benda materiil mapun yang berupa non materiil seperti sanggah dan leluhur.
Perempuan yang telah diputrika memiliki status dan kedudukan sebagai laki-laki sesuai dengan legitimasi adat yang telah diberikan kepadanya. Sehingga semenjak prosesi putrika tersebut ia memiliki hak dan tangung jawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Sebagai kepala keluarga putrika juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan orangtuanya. Ia juga menjadi penentu setiap keputusan yang akan diambil oleh keluarga, berkaitan dengan permasalahan yang ada di keluarganya. Sedangkan laki-kaki yang nyentana mempunyai tangungjawab dan kewajiban sebagaimana layaknya perempuan dalam rumah tangga. Ia membantu istri untuk menjalankan roda perekonomian keluarga serta mengurus anak-anak. Dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga ia mesti meminta persetujuan dari istrinya terlebih dahulu. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya perubahan kewajiban dan tangungjawab yang sepenuhnya sudah ada pada pihak perempuan yang berstatus putrika. Sebagai ahli waris perempuan putrika mempunyai kewenangan “mutlak” berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Kewenangan ini dimiliki berkaitan dengan statusnya sebagai akhli waris dan penerus keturunan keluarga. Sehingga ia diberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga. Keluasan kewenangan inilah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan, khususnya dengan suami yang merasa tidak diberikan ruang dan kebebasan untuk ikut menentukan arah kebijakan keluarga.
Pada Desa adat Jegu perempuan yang telah melakukan perubahan status melalui putrika diberikan tangungjawab dan kedudukan yang sama sebagaimana layaknya laki-laki dalam menentukan ayahan desa dan tanah milik. Artinya ia diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik keluarganya.
1.2.Konsep Penikahaan Nyentana dipandang dari adat atau agama
Nyentana merupakan hukum adat bukan kaidah agama hindu. Mungkin ada sedikit kaitannya dengan tradisi beragama hindu di bali yang dikenal dengan istilah pradana dan purusa. Seseorang yang nyentana hendakanya mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga dadia (soroh) dari lelaki dan perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak dan kewajibanya di sanggah lama(purusha) dan menjadi warga baru disanggah baru (pradana). Lelaki yang nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitan yang lama dan yang baru.
Dalam sejarah banyak sekali leluhur orang bali yang sejak zaman dahulu mengambil langkah nyentana, jadi tidak ada yang salah dalam hal nyentana yang penting adalaha bagaiamana membina kehidupan yang harmonis, sesu
download now